I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah kemanusiaan yang terbesar adalah masalah kemiskinan yang melanda
sebagian besar umat manusia termasuk di dalamnya umat Islam. Masalah kaya
miskin dalam masyarakat kadang-kadang dipandang sebagai masalah rawan karena
keadaan demikian dapat menimbulkan kesenjangan dan masalah sosial. Masalah
sosial yang timbul dari kemiskinanan seperti kriminalitas, penculikan anak,
kenakalan remaja, anak jalanan, gelandangan, pengemis, narkoba, prostitusi dan
masalah sosial lainnya. Masalah-masalah sosial tersebut tentunya akan
meresahkan masyarakat dan perlu ditangani dengan cara mengentaskan kemiskinan
terlebih dahulu, sehingga tidak terjadi perbedaan kaya dan miskin yang mencolok
dalam masyarakat. Untuk mengentaskan kemiskinan diperlukan kerjasama dari semua
pihak baik pemerintah maupun masyarakat
itu sendiri, karena mengentaskan kemiskinan merupakan tanggung jawab bersama
sebagai bentuk solidaritas sosial dalam masyarakat.
Tiap agama membawa ajaran yang baik terlepas dari perbedaan-perbedaan
sangat mendasar yang menyertainya. Termasuk di dalamnya ajaran kedermawanan
sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama dan ajaran menciptakan persatuan dan
kesatuan antar umat manusia. Menurut Jalaluddin (2005 : 263) agama memiliki
fungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas sosial dimana penganut agama yang sama
secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan : iman dan
kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok
maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang
kokoh. Karena agama mendorong manusia untuk tidak selalu memikirkan kepentingan
pribadi tetapi juga kepentingan sesama. Itu berarti agama membantu mendorong
terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban-kewajiban sosial
dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para
anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam
peranan ini agama telah membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu
dan utuh.
Peranan sosial agama harus dilihat terutama sebagai sesuatu yang
mempersatukan. Dalam pengertian harfiahnya, agama menciptakan suatu ikatan
bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam
kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Karena
nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh
kelompok-kelompok keagamaan, maka agama menjamin adanya persetujuan bersama
dalam masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan nilai-nilai sosial.
Nilai-nilai sosial keagamaan tersebut tidak mudah diubah karena adanya
perubahan- perubahan dalam konsepsi-konsepsi kegunaan dan kesenangan
duniawi
(Nottingham, 1997 : 42). Seperti halnya ajaran agama Islam yang menghendaki
penganutnya untuk memiliki kepekaan dan solidaritas sosial untuk ikut
memikirkan nasib orang lain dan memiliki
kewajiban sosial membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu
ajaran Islam yang menunjukkan solidaritas dan kewajiban untuk mensejahterakan
masyarakat adalah zakat. Zakat merupakan ibadah umat Islam di bidang harta yang
sering dipandang sebagai instrumen untuk merealisasikan konsep keadilan dan
kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat. Zakat merupakan manifestasi dalam
hubungan antara manusia dengan prinsip mendistribusikan harta kekayaan dari
yang kaya kepada yang miskin sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial.
Islam
mewajibkan seorang muslim yang mampu untuk mengeluarkan hartanya dalam bentuk
zakat, infaq dan shadaqah. Sedangkan bagi
orang yang tidak mampu berusaha dan tidak sanggup bekerja, serta tidak
memiliki harta untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, maka ia berhak mendapat
jaminan dari saudara-saudaranya yang mampu, karena dalam Islam semua muslim itu
bersaudara. Jaminan yang dimaksud tersebut berupa zakat yang diberikan oleh
muslim yang mampu kepada saudara muslim yang tidak mampu. Zakat inilah yang
diharapkan mampu meminimalisir kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin,
sebagai sikap dari saling membantu dan solidaritas dalam Islam yang pada
akhirnya mampu pula memberantas kemiskinan dalam masyarakat.
Yusuf Qardhawi
(Nuruddin, 2006 :152-153) mengemukakan bahwa zakat adalah sistem sosial, karena
zakat berfungsi menyelamatkan masyarakat dari kelemahan baik karena bawaan
ataupun karena keadaan. Zakat dapat menanggulangi berbagai bencana dan
kecelakaan, memberikan santunan kemanusiaan, orang yang berada menolong yang
tidak punya, yang kuat membantu yang lemah, orang miskin dan orang yang dalam
perjalanan kehabisan bekal dan memperkecil perbedaan antara si kaya dan si
miskin.
Sedangkan
zakat menurut Hikmat Kurnia dan A. Hidayat (2008 : 8) merupakan salah satu dari
sistem ekonomi Islam karena zakat merupakan salah satu implementasi asas
keadilan dalam sistem ekonomi Islam. Di sisi lain Sahal (Sidiq, 2005 : 11) juga
menyatakan zakat adalah institusi-institusi untuk mencapai keadilan sosial,
dalam arti sebagai mekanisme penekanan modal pada sekelompok kecil masyarakat.
Zakat merupakan ibadah yang memiliki akar historis yang
cukup panjang, seperti juga ibadah shalat. Kalau shalat merupakan ibadah
ruhiyah, maka zakat adalah ibadah harta dan sosial yang memiliki posisi sangat
penting, strategis, dan menentukan, baik yang dilihat dari sisi ajaran Islam
maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Dengan kata lain, zakat disamping memiliki dimensi
spiritual juga memiliki dimensi sosial ekonomi. Dengan demikian, bagi setiap
muslim yang telah menunaikan zakat, tidak hanya beribadah untuk dirinya sendiri
tetapi juga berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan sesamanya, dimana
pengeluaran zakat dibebankan atas harta atau kekayaan seorang muslim sehingga
zakat memiliki tujuan sangat mulia .
Adapun tujuan mulia dari zakat menurut Muhammad Said
Wahbah (Nuruddin, 2006 : 32-33) yaitu :
1.
Membangun jiwa dan
semangat untuk saling menunjang dan solidaritas sosial di kalangan masyarakat
Islam.
2.
Merapatkan dan
mendekatkan kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat.
3.
Menanggulangi
pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai bencana, seperti bencana alam
maupun bencana lainnya.
4.
Menutup biaya-biaya
yang timbul akibat terjadnya konflik, persengketaan dan berbagai bentuk
kekerasan dalam masyarakat.
5.
Menyediakan dana
taktis dan khusus untuk penangulangan biaya hidup para gelandangan, para pengangguran,
dan tuna sosial lainnya, termasuk dana untuk membantu orang-orang yang hendak
menikah, tetapi tidak memiliki dana untuk itu.
Peran
strategis zakat dalam mensejahterakan umat, bukan hanya janji kosong ataupun
angan-angan. Zakat telah terbukti begitu efektif pada zaman kekhalifahan Umar
bin Khaththab yang mampu mengentaskan
kemiskinan karena tidak lagi ditemukan orang-orang miskin untuk diberikan
zakat.
Seperti yang dikisahkan Abu
Ubaid bahwa Mu’adz bin Jabal pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di
Yaman kepada khalifah Umar, karena beliau tidak lagi menemukan mustahik (penerima
zakat) zakat di Yaman, tapi dikembalikan oleh Umar, Mu’adz
kemudian mengirimkan sepertiga hasil zakat itu yang kembali ditolak oleh Umar. (www.Sebi.ac.id, akses tanggal 30 Oktober 2008).
Sebuah potret yang begitu
mengagumkan dari adanya kewajiban zakat
bagi umat muslim. Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, yang secara
logika sederhana, muzakki-nya
(pembayar zakat) tentu sangat banyak, dan jika
ini
bisa dimaksimalkan, bukan tidak mungkin bangsa ini akan bebas dari lilitan
hutang dan masyarakatnya bisa sejahtera. Agar menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan bagi
kesejahteraan masyarakat terutama untuk mengentaskan kemiskinan dan
menghilangkan kesenjangan sosial, perlu adanya pengelolaan zakat secara
professional dan bertanggungjawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama
pemerintah.
Di Indonesia sendiri pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat sebagai landasan hukum
sekaligus pengatur dalam upaya pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan
zakat yang disertai dengan Keputusan
Menteri Agama (KMA) No. 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan
UU No. 38 Tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat dan
Urusan Haji No. D / 291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Walau telah ada dasar hukum yang kuat mengenai pengelolaan zakat, namun masih
ada kekurangan dari undang-undang tersebut, seperti tidak adanya sanksi bagi
orang yang telah mampu dan wajib berzakat tetapi tidak melaksanakannya (tidak
mau membayar zakat). Sehingga mengeluarkan zakat masih bergantung pada
kesadaran individu masing-masing.
Dalam Bab II
pasal 5 Undang-undang zakat tersebut dikemukakan bahwa pengelolaan zakat
bertujuan untuk :
- Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat
sesuai tuntutan agama.
- Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial .
- Meningkatkan hasil dan daya guna zakat.
Dalam
undang-undang tersebut juga dikemukakan
bahwa pemerintah Indonesia menetapkan dan mengesahkan Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat
(LAZ) sebagai organisasi yang bergerak dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Badan Amil Zakat (BAZ) sebagai badan yang didirikan oleh
pemerintah menjadi ujung tombak pemerintah dalam upaya pengumpulan dan
pendistribusian zakat. Badan ini didirikan di berbagai tingkatan mulai dari
pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. Pelaksanaan pengelolaan zakat
turut pula dilaksanakan oleh unsur
masyarakat melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat dan
dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh pemerintah setelah memenuhi beberapa
persyaratan tertentu.
Berkaitan dengan
upaya pembentukan pengelola zakat yang kuat, amanah dan dipercaya oleh
masyarakat maka diatur pula sanksi bagi lembaga pengelola zakat seperti yang
tercantum dalam Bab VIII pasal 21 butir 1 bahwa :
“setiap
pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau tidak mencatat dengan tidak benar harta zakat,
infak, sedekah, hibah, wasiat,waris dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam
pasal 8, pasal 12, dan pasal 13 dalam undang-undang ini diancam dengan hukuman
kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/ atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah)”.
Dengan adanya
sanksi tersebut diharapkan dapat membuat masyarakat percaya dan sengaja
mengeluarkan zakatnya melalui lembaga
amil zakat.
Sejak dikeluarkannya UU No.38 tahun 1999 tersebut, pengelolaan zakat di Indonesia
terus mengalami perkembangan dan kemajuan. Terbukti dengan semakin banyaknya
badan/lembaga yang berdiri untuk mengelola zakat. Menurut data Forum Zakat
(FOZ) hingga Nopember 2007 di Indonesia sudah ada BAZ (Badan Amil Zakat)
sebanyak 433 badan dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) sebanyak 60 lembaga atau total
BAZ/LAZ = 493 lembaga. Dari 493 lembaga tersebut berhasil dihimpun dana sebesar
Rp 1,8 Triliun (http : //www.dsniamanah.or.id, tanggal 31 Januari 2009).
Berdasarkan hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif
Hidayatullah dan Ford Foundation
(http://www.rumahzakat.org/detail.php?id=1628&kd=B
tanggal 30 Desember 2008) mengungkapkan, jumlah filantropi (kedermawanan) umat
Islam Indonesia mencapai Rp 19,3 triliun dalam bentuk barang Rp 5,1 triliun dan
uang Rp 14,2 triliun. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih berasal dari
zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta sebesar Rp. 13,1 triliun.
Potensi zakat di Indonesia sesungguhnya sangat
besar, berdasarkan hitungan Kompas, potensi minimal
zakat di Indonesia sebesar Rp 4,8 triliun. Asumsinya, penduduk Muslim 88,2
persen dari total penduduk Indonesia. Mengacu pada Survei Sosial Ekonomi
Nasional 2007, dari 56,7 juta keluarga di seluruh Indonesia, 13 persen di
antaranya memiliki pengeluaran lebih dari Rp 2 juta per bulan. Dengan asumsi
bahwa penghasilan setiap keluarga itu lebih besar daripada pengeluaran, minimal
keluarga itu mampu membayar zakat 2,5 persen dari pengeluarannya. Dengan
demikian, nilai totalnya menjadi Rp 4,8 triliun. Hasil survei Public Interest Research and Advocacy Center
(PIRAC) tahun 2007 menyebutkan, potensi zakat di Indonesia lebih besar lagi,
yaitu Rp 9,09 triliun. Survei ini menggunakan 2.000 responden di 11 kota besar
di Indonesia.
Pakar ekonomi syariah, Syafii Antonio, bahkan menyebut potensi zakat
Indonesia mencapai Rp 17 triliun. Namun, hasil riset terbaru dari Ivan
Syaftian, peneliti dari Universitas Indonesia, tahun 2008, dengan menggunakan qiyas zakat emas, perak, dan
perdagangan, didapat data potensi zakat profesi sebesar Rp 4,825 triliun per
tahun. Penghitungan ini menggunakan variabel persentase penduduk Muslim yang
bekerja dengan rata-rata pendapatan di atas nisab
(http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/30/00185540/potensi.zakat.triliunan.rupiah).
Sementara
itu, jumlah dana zakat yang bisa dihimpun Badan Amil Zakat Nasional (Baznas)
tahun 2007 sebesar Rp 14 miliar. Apabila digabung dengan penerimaan zakat
seluruh lembaga amil zakat (LAZ) tahun 2007, dicapai Rp 600 miliar. Nilai ini
hanya 12,5 persen dari potensi minimal yang ada jika asumsi potensi Rp 4,8
triliun. Ini membuktikan bahwa dari
potensi zakat yang besar belum sepenuhnya tergali untuk digunakan mengatasi
masalah kemiskinan.
Hasil Survei “Potensi dan Perilaku Masyarakat dalam Berzakat” (http:/ www.
PIRAC.co.id, akses tanggal 3 Februari 2009) yang dilakukan PIRAC pada akhir 2007
dengan melibatkan 2000 responden yang dilakukan setiap tiga tahun untuk
mengetahui potensi dan perubahan perilaku masyarakat dalam berzakat. Survei yang dilakukan di 11 kota besar, yakni
Medan, Padang, DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Pontianak, Balikpapan,
Makassar, dan Manado menunjukkan bahwa 55 persen masyarakat muslim yang menjadi
responden sadar atau mengakui dirinya sebagai pembayar zakat (muzaki).
Tingkat kesadaran para muzaki ini meningkat 5,2 persen
dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya (2004) yang besarnya 49,8 persen.
Fenomena ini menunjukkan adanya kesadaran masyarakat akan kewajibannya sebagai
wajib zakat. Peningkatan kesadaran ini juga terlihat dari kepatuhan muzaki dalam menunaikan kewajibannya
berzakat. Survei menunjukkan sebagian besar responden yang mengaku sebagai muzaki (95,5 persen) menunaikan
kewajibannya dengan membayar zakat. Jumlah persentase muzaki yang membayar zakat ini juga sedikit meningkat dibanding
hasil survei 2004 yang besarnya (94,5 persen). Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat untuk
mengeluarkan zakatnya.
Munculnya
lembaga-lembaga pengelola zakat dan meningkatnya kesadaran masyarakat dalam
melaksanakan ibadah zakat, belum disertai dengan kesadaran untuk menyalurkan
zakat melalui badan amil zakat ataupun lembaga amil zakat. Jumlah muzaki (pembayar zakat) yang menyalurkan
zakat secara langsung lebih besar daripada yang menyalurkan melalui BAZ dan
LAZ. Hal ini dapat dilihat dari hasil Survei PIRAC yang menunjukkan
bahwa sebagian besar responden
(59%) ternyata memilih menyalurkan zakatnya kepada masjid di sekitar rumah. Responden yang memilih
menyalurkan zakatnya langsung kepada
penerima zakat sebesar 25 %, sementara responden yang
menyalurkan zakatnya ke BAZ dan LAZ hanya 6% dan 1,2%.
Di Bandar Lampung sendiri, menurut Ansori, direktur LAZIS Lampung (Lampung
Post, 28 September 2007) masyarakat Lampung cenderung memberikan
zakatnya langsung kepada mustahiq (penerima zakat), sehingga
zakat yang dikelola masih minim. Di sisi lain, lembaga amil zakat kurang
berkembang karena tingkat kepercayaan masyarakat untuk memberikan zakatnya
kepada LAZIS masih rendah. Padahal, potensi zakat di Lampung ini sangat besar,
mencapai Rp30 miliar/tahun.
Banyak pemberi
zakat yang lebih senang menyalurkan zakatnya melalui masjid sekitar rumah
ataupun secara langsung kepada mustahik.
Pengelolaan zakat lewat masjid umumnya tidak
seoptimal dan profesional lewat BAZ dan LAZ. Pola pengelolaan zakatnya biasanya
bersifat pasif, tentatif atau tidak rutin, booming pada saat Ramadhan, dikelola
oleh panitia sementara dan
pendayagunaannya hanya pada pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Sedangkan pembagian zakat secara langsung merupakan
niat baik, namun niat baik juga harus disertai dengan pelaksanaan yang baik
agar tidak terjadi hal yang merugikan seperti yang terjadi di beberapa daerah
di Indonesia.
Contoh
penyaluran zakat yang berakhir tragis terjadi saat ada pembagian zakat secara
massal oleh keluarga Haji Syaikon di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 15 September 2008 yang
menyebabkan 21 orang tewas dan belasan korban luka-luka akibat pembagian zakat
yang tidak tertib (http ://www. Detiknews.com tanggal 2 Februari 2009) dan berita
Ramadhan tahun sebelumnya menewaskan 5 orang di rumah Habib Ismet Alhabsyi Jl.
Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan
merupakan berita yang sangat miris didengar.
Insiden ini sebenarnya bukan pertama
kali terjadi, namun pola penyaluran zakat secara massal ini tampaknya
masih diminati masyarakat. Insiden
Pasuruan ini tak perlu terjadi seandainya H.
Syaikhon dan Habib Ismet sebagai
muzaki mau menyerahkan zakatnya
kepada amil zakat yang sudah ada, yakni badan
amil zakat daerah atau lembaga amil zakat lainnya.
Selain
mengindari hal-hal yang tak diinginkan, penyaluran zakat secara kolektif
melalui lembaga pengelola zakat, apalagi yang memiliki kekuatan hukum formal, menurut Abdurrahman
Qadir (Hafidhuddin, 2002 : 126) akan memiliki beberapa
keuntungan, antara lain : Pertama,
untuk menjamin kepastian dan disiplin muzakki
(pemberi zakat). Kedua, untuk menjaga
perasaan rendah diri para mustahik
(penerima zakat), apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki. Ketiga, untuk mencapai efisiensi dan efektivitas, serta sasaran
yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada
suatu tempat. Keempat, untuk
memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang
Islami.
Sebaliknya, jika zakat diserahkan secara
langsung dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah
adalah sah, akan tetapi disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut diatas,
juga hikmah dan fungsi zakat , terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan
umat akan sulit diwujudkan. Seperti yang diungkapkan oleh Yusuf Wibisono (2007 : 3) bahwa zakat sebagai
salah satu ibadah memiliki potensi yang menjanjikan bagi perekonomian dan dapat
mengentaskan kemiskinan, baru akan terasa dampaknya pada tingkat yang
diharapkan jika dana zakat terkumpul dalam jumlah yang cukup signifikan,
dikumpulkan secara terorganisir dan dikelola secara profesional.
Besarnya
manfaat zakat dan pentingnya penghimpunan zakat secara kolektif serta rendahnya kesadaran masyarakat menyalurkan
zakat melalui LAZ inilah yang menarik peneliti untuk melakukan penelitian
bagaimana upaya LAZDAI dalam menyadarkan masyarakat untuk mengeluarkan zakat
serta mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat dalam menyadarkan
masyarakat untuk mengeluarkan zakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah upaya LAZDAI dalam menyadarkan masyarakat untuk
mengeluarkan zakat ?
2.
Apakah
faktor pendukung dan faktor penghambat LAZDAI dalam upaya menyadarkan
masyarakat untuk mengeluarkan zakat ?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan ;
- upaya yang dilakukan LAZDAI dalam menyadarkan masyarakat untuk
mengeluarkan zakat.
- Faktor pendukung dan faktor penghambat LAZDAI dalam menyadarkan
masyarakat untuk mengeluarkan zakat
D.
Kegunaan
Penelitian
Kegunaan penelitian ini
adalah :
- Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
ilmu pengetahuan sosial yang bertema sama khususnya dalam bidang
sosiologi.
- Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan dan informasi bagi lembaga amil zakat dalam upaya menyadarkan
masyarakat untuk mengeluarkan zakat.
1 komentar:
Insya Allah Allah akan bantu kita jika kita bantu Dia. Dapatkan free islamic magazine di link berikut
http://www.quantumfiqih.com/2014/06/majalah-digital-gratis-free-quantum_1673.html